Membawa Kembali Keindahan

Judul : Sagmeister & Walsh: Beauty
Penulis : Stefan Sagmeister & Jessica Walsh
Penerbit : Phaidon Press Limited
Cetakan : I, November 2018
Tebal : 278 halaman
ISBN : 978 0 7148 7727 3

“Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu indah. Kita membaca dan menulis puisi karena kita merupakan bagian dari umat manusia.”

John Keating, Dead Poets Society

SEBAGAI sebuah pencapaian estetik, keindahan tidak lagi mempesona. Dunia seni dan desain menghindari keindahan karena takut karyanya dicap dekoratif, murahan dan komersil. Sekolah-sekolah desain saat ini mengadopsi prinsip-prinsip modern yang cenderung menekankan kesamaan, sistem grid serta komposisi yang cenderung persegi. Pendekatannya analitis dan rasional serta tujuannya sangat fungsional. Digambarkan dalam sebuah diagram, frekuensi penggunaan kata atau istilah keindahan dari buku-buku yang berhasil didigitalkan oleh Google sejak 1800 hingga sekarang. Penurunan drastis terjadi pada paruh pertama abad 20 ketika modernisme (gerakan dalam bidang filsafat, seni dan kebudayaan yang menggeser cara berpikir tradisional) mulai bergairah. Modernisme terpesona pada fungsi, seperti kredonya yang terkenal form follows function (Louis Sullivan), ornament is crime (Adolf Loos) dan less is more (Ludwig Mies van der Rohe).

Tidak bisa dipungkiri, modernisme telah mengubah cara kita berpikir dan bertindak di dunia serta turut menciptakan keindahan melalui garis-garis yang bersih dan komposisi yang minimalis. Namun, sebagai resep tunggal-universal, gagasan ini terbukti gagal untuk menyelesaikan persoalan umat manusia. Salah satunya nampak dari banyaknya gedung hunian yang dibangun dengan gagah pada dekade 50-an, terpaksa dihancurkan satu dekade setelahnya karena dinilai gagal berfungsi sebagai hunian manusia. Padahal, jauh sebelumnya, setiap kebudayaan mengembangkan gaya arsitekturnya sendiri yang dipengaruhi dari nenek moyang, kondisi geografi dan juga cuaca. International Style (istilah yang dipopulerkan dari New York oleh Museum of Modern Art) menggantikan perbedaan-perbedaan itu dengan kesamaan. Modernisme gagal karena tidak mampu mengungkapkan keunikan, kepribadian dan rasa.

Kegelisahan tersebut mengantar Stefan Sagmeister & Jessica Walsh, duo pengarah artistik dan desainer grafis eksentrik kenamaan dunia, menuliskan buku ini dan mengajak kita untuk membawa kembali keindahan ke dalam dunia desain. Berangkat dari asumsi dasar, bahwa keindahan adalah bagian dari menjadi manusia. Desainer dan seniman adalah pencipta keindahaan. Lewat karyanya manusia manusia mampu melihat keindahaan di dalamnya dan lebih jauh lagi melihat kemanusiaannya. Di sinilah keindahaan punya dampak untuk membawa manusia menjadi lebih manusiawi.

Sagmeister (lahir 1962 di Bregenz, Austria) dikenal dengan tipografi eksperimentalnya yang segar, ambisius dan juga meresahkan. Sedangkan Walsh (lahir 1986 di New York, AS) dikenal dengan gaya desain yang mengunakan warna-warna yang berani, emosional dan provokatif. Mereka bekerja melintasi batas desain dan seni bersama dengan agensi kreatif mereka Sagmeister & Walsh di New York. Lewat karya-karyanya, mereka berhasil memengaruhi budaya desain terutama desain grafis dalam satu dekade terakhir ini. Setelah mengeksplorasi kegembiraan lewat Happy Project (2012), mereka mengekplorasi keindahan lewat Beauty Project (2018). Buku ini adalah bagian dari Beauty Project yang diinisiasi tahun lalu dan diawali dari sebuah pameran di MAK Museum, Wina, Austria.

BUKU ini terdiri dari tujuh bagian. Diawali dengan mengurai definisi keindahan dari para filsuf, seniman hingga matematikawan. Selanjutnya, di bagian kedua, pembaca diajak untuk menyusuri sejarah singkat keindahan. Di sini dilacak bagaimana konsep keindahan memainkan peranan penting dalam sejarah umat manusia bahkan sebelum manusia menyadari kemanusiaannya di masa prasejarah.

Bagian ketiga menceritakan pengalaman terkait keindahan dalam berbagai bentuk, dari seni, arsitektur, fashion hingga desain kemasan makanan. Misalnya diceritakan bagaimana membuka desain kemasan di Jepang mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan, seperti kebahagiaan yang dialami anak-anak yang mendapat kado: theater of unwrapping.

Di bagian keempat, Sagmeister & Walsh berusaha membuktikan bahwa ada kesepakatan bersama ketika itu berkaitan dengan apa yang indah. Lewat survei yang dilakukannya via media sosial instagram, mereka menyajikan data yang menunjukkan bahwa keindahan memang ada pada obyeknya. Dipaparkan hasil jajak pendapat yang berkaitan dengan obyek desain. Misalnya, manakah logo yang paling indah menurutmu, manakah kota yang paling indah di dunia, manakah uang yang paling indah dan sebagainya.

Bagian kelima menampilkan daya gugah keindahan. Ditampilkan beberapa proyek desain yang mengubah ruang publik menjadi lebih indah untuk menunjukkan daya keindahan yang tidak hanya berkaitan dengan perasaan namun lebih jauh mampu mentransformasi masyarakat di kota-kota di dunia. Sebelum menutup buku ini, di bagian keenam ditampilkan arsip keindahan, sebagai contoh obyek yang dianggap paling indah dalam karya seni, arsitektur dan desain. Disertai dengan ulasan singkat pada kualitas formal sebuah obyek. Akhirnya, buku ini ditutup dengan manifesto proyek keindahan yang mengajak para desainer untuk kembali memikirkan dan mencapai keindahan dalam berkarya.

Yang Indah, Yang Benar
Sagmeister & Walsh menegaskan bahwa keindahan akan meningkatkan fungsi dari sebuah desain. Mencapai yang indah ternyata lebih sulit daripada sekadar mencapai yang berfungsi. Pada titik tertentu, ketika desain didorong untuk mencapai tingkat keindahan tertentu, maka mungkin fungsinya menjadi berkurang, namun beralih ke fungsi yang lain: sebuah karya seni. Contohnya pemeras lemon karya Philippe Starck. Alih-alih menjalankan fungsinya sebagai pemeras lemon, karya ini malah menjadi patung di dapur. Menurut Plato, filsuf yang kepincut dengan keindahan, jika sesuatu itu indah maka secara moral itu juga baik dan menyingkapkan kebenaran.

Upaya untuk membawa kembali keindahan di ranah penciptaan, pada konteks tertentu akan memunculkan perdebatan yang panjang terlebih dalam dunia seni yang berada pada wilayah ekspresi dan pemaknaan atas pengalaman. Sempat disinggung di sini, lewat beberapa contoh karya seni mulai urinoir Marcel Duchamp hingga kaleng sup Andy Warhol yang mempertanyakan kembali estetika dalam dunia seni. Untuk konteks Indonesia, misalnya, pada masa lalu para pelukis mooi indie (Hindia molek) yang melukis keindahan alam atau aktivitas masyarakat Hindia Belanda pada masa itu, dikritik habis-habisan oleh S.Sudjojono, karena dinilai hanya melukis yang indah-indah dan menyembunyikan realitas (kebenaran) yang sesungguhnya dari masyarakat Hindia Belanda yang kala itu mengalami perang serta kesulitan hidup. Pada konteks semacam ini ‘yang buruk’ juga mampu menyingkap kebenaran.

Akan tetapi, untuk konteks desain yang berkutat pada obyek fungsional sehari-hari, pencapaian keindahan yang ditawarkan ini bisa menjadi hal yang relevan saat ini. Jika melihat desain dan arsitektur kontemporer, nampak bahwa saat ini masyarakat sedang gandrung dengan gaya hidup dan membutuhkan pendekatan desain yang lebih dari sekadar fungsi.

——

BUKU 278 halaman ini merupakan sebuah manifesto atau pernyataan sikap Sagmeister & Walsh sebagai desainer. Selain berperan sebagai sebuah karya tulis yang reflektif sekaligus persuasif, buku ini sekaligus merupakan karya desain grafis yang indah. Dilengkapi dengan gambar-gambar yang menarik untuk membantu menjelaskan gagasan mereka. Pada cover digambarkan huruf B (merupakan awalan dari kata beauty) dengan detil sulur tanaman dan berpilin dengan ular yang mengingatkan kepada gaya baroque yang penuh ornamen, berbunga sekaligus menyeramkan. Ditulis dengan gaya bahasa yang populer, namun tak menghilangkan tradisi penulisan ilmiah berbasis data dan referensi yang memadai. Alhasil juga mampu mendorong perenungan filosofis tentang desain.

Buku ini layak mendapat apresiasi dari kalangan kampus, praktisi desain dan secara umum masyarakat luas yang tertarik dengan isu-isu desain kekinian. Terlebih untuk para desainer, buku ini bisa menjadi referensi ataupun pancingan untuk menulis berkaitan dengan praktik desain yang telah dilakoni, mengingat referensi buku desain Indonesia masih amat terbatas.

Sagmeister & Walsh menawarkan ajakan kepada para desainer untuk tidak meninggalkan keindahan dalam berkarya. Tidak hanya memikirkan fungsi sebagai tujuan dalam mendesain, namun lebih dari itu: keindahan. Sebagai puncak pencapaian estetik dalam berkarya, keindahan adalah kadar kemanusiaan yang membuat hidup kita lebih baik. Lebih lanjut Sagmeister & Walsh mereka mengajak kita untuk membuat desain menjadi lebih personal dengan memahami budaya dan identitas lokal serta merayakan keberagaman dalam mendesain.

Saya jadi teringat dengan ucapan John Keating dalam film Dead Poets Society, “Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu indah. Kita membaca dan menulis puisi karena kita merupakan bagian dari umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah. Ilmu pengobatan, hukum, bisnis, teknik: itu semua adalah pekerjaan yang mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tetapi puisi, keindahan, asmara, cinta inilah tujuan kita untuk tetap bertahan hidup.” Ya kita selalu mencari keindahan.


Gamaliel W. Budiharga
Pengarah artisitik dan desainer grafis, alumnus magister desain ITB, saat ini mengelola Kotasis sebuah biro desain rumahan di Surabaya.